Senin, 14 Juli 2008

Gubernur NTT Adalah Mantan Aktivis GMNI

Kupang, Cakrawala - Frans Lebu Raya (48) adalah anak seorang petani terlahir di Desa Watoone, sebuah perkampungan sunyi di wilayah Kecamatan Witihama, Pulau Adonara, Kabupaten Flores Timur pada 18 Mei 1960.
Anak kedua dari tujuh bersaudara pasangan Ama Paulus Ola Samon dan Ina Maria Wae Peka (alm) ini selalu menampakkan sikap rendah diri. Ia hanya melemparkan senyum sebagai sebuah pesona sikap diam yang selalu ia tunjukkan ketika masuk sekolah dasar pada usia empat tahun.

Ia tenang dalam mengolah ilmu dan merajut pelajaran sampai akhrinya menyelesaikan studinya di SDK Watoona pada 1971 ketika suami dari Lusia Adinda Dua Nurak (34) dan ayah dari Maria Yubiliani Laetare Nurak dan Karmelia Eleonoraputri Bengan Tokan ini memasuki usianya yang ke-11.
Dalam usia yang masih belia itu, Lebu Raya kecil kemudian melanjutkan pendidikannya di SMP Palugodam, sebuah lembaga pendidikan swasta di Desa Sandosi yang letaknya di daerah dataran tinggi, sekitar 10 km dari kampung halamannya di Desa Watoone.
Tiap hari sekolah, ia bersama teman-temannya harus jalan kaki menapaki langkah menujuh puncak bukit untuk menimba ilmu di lembaga pendidikan tersebut sampai tamat pada 1974 ketika isterinya saat ini baru hadir di dunia ini dalam wujud seorang bayi mungil.
Tiga tahun lamanya, Lebu Raya menyeka peluh dalam menimba ilmu di SMP Palugodam yang dipimpin Thomas Sili Mado Lamabelawa yang juga adalah seorang aktivis politik dari Partai Demokrasi Indonesia (PDI).
Selepas dari Palugodam, Lebu Raya kemudian berlayar menuju Kupang, ibukota Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) di Pulau Timor untuk melanjutkan pendidikannya.
Pilihannya jatuh ke Sekolah Menengah Olahraga Atas (SMOA) Kupang yang kini sudah ditutup oleh pemerintah setelah berubah nama menjadi Sekolah Guru Olahraga (SGO).
Setelah tamat dari SMOA pada 1977, Lebu Raya memilih pulang kampung dan menjadi seorang guru olahraga di SMP Gotong Royong Witihama sampai 1980.
Selepas dari Gotong Royong, Lebu Raya banting setir dan mendirikan sebuah lembaga pendidikan di kampung halamannya, SMP Katolik Lamaholot 1912 Witihama dan menjadi kepala sekolah di SMP tersebut.
Ketika melihat lembaga pendidikan yang didirikannya itu sudah mulai mandiri dan berjalan bagus, ia kembali merantau ke Kupang untuk melanjutkan pendidikannya di Universitas Nusa Cendana (Undana) Kupang dan memilih Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) sebagai ladang terakhir menimba ilmu pengetahuan.
Aura kepemimpinan Lebu Raya mulai terpancar ketika menjadi Ketua Umum Senat FKIP Undana dari 1988-1990. Selepas meraih gelar sarjana di perguruan tinggi negeri satu-satunya di NTT itu, Lebu Raya mulai melebarkan sayapnya memasuki arena politik.
Pada 1991-1992, ia terpilih menjadi Ketua GMNI Cabang Kupang sambil merefleksikan ilmunya sebagai dosen di Universitas Katolik Widya Mandira Kupang dan Akademi Teknik Kupang serta mendirikan Yayasan Masyarakat Sejahtera (Yasmara) untuk mendampingi masyarakat dalam melaksanakan proyek-proyek di bidang kesehatan, terutama peningkatan gizi, penanggulangan penyakit masyarakat (PMS) dan HIV/AIDS.
Keterampilannya menjadi seorang pemimpin, terasah lewat latihan keterampilan manajemen mahasiswa di Denpasar pada 1988, latihan manajemen organisasi sosial di Kupang pada 1992, latihan manajemen organisasi nirlaba di Solo, Jawa Tengah pada 1992, latihan penyadaran dan analisa jender di Mataram, NTB pada 1996 serta latihan PMS dan HIV/AIDS di Kupang pada tahun yang sama.
Ketika merasa sudah mapan untuk melangkah ke arena politik praktis, Lebu Raya memilih Partai Demokrasi Indonesia (PDI) sebagai payung politiknya dan terpilih menjadi Ketua Dewan Pimpinan Cabang (DPC) PDI Kodya Kupang pada 1996.
Tatkala parpol ini mengalami perpecahan menjadi dua kubu kekuatan politik pada 1996, Lebu Raya tetap memilih bersama Megawati Soekarnoputri meski terus mendapat tekanan dan ancaman dari penguasa Orde Baru pada saat itu.
Penguasa Orde Baru memilih bersama PDI pimpinan Soerjadi dan tidak mengakui Megawati Soekarnoputri sebagai pemimpin partai tersebut sampai melahirkan insiden berdarah di Jalan Diponegoro Jakarta Pusat ketika sebuah pasukan "siluman" datang menyerang markas PDI di pagi hari yang diduduki massa pendukung dan simpatisan putri Bung Karno pada saat itu.
Insiden berdarah di bulan Juli 1996 inilah yang kemudian melahirkan sebuah partai baru bernama PDI Perjuangan pimpinan Megawati Soekarnoputri.
Kelompok pendukung Mega seakan tak tahan lagi harus bersama PDI pimpinan Soerjadi yang dikendalikan sepenuhnya oleh penguasa Orde Baru pada saat itu sehingga memilih untuk membentuk partai baru.
Partai baru pimpinan Megawati Soekarnoputri itu mulai membentuk cabang dan ranting di berbagai pelosok nusantara, termasuk di NTT. Di provinsi ini, partai ini dipimpin Anton Haba, dan Frans Lebu Raya sebagai sekretarisnya dari 1996-2000.
Selepas jadi sekretaris partai, Lebu Raya akhirnya terpilih menjadi Ketua DPD PDI Perjuangan NTT periode 2000-2010.
Langkah politik putra anak petani dari Nusa Tadon--sebutan khas untuk Pulau Adonara--itu mulai mengerucut ketika memasuki Pemilu 1999. Ia terpilih menjadi anggota DPRD NTT melalui pintu PDI Perjuangan dan terpilih pula menjadi Wakil Ketua DPRD NTT dari 1999-2003.
Selepas jeda di lembaga legislatif, masuklah periode pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah NTT periode 2003-2008 karena masa jabatan Piet Alexander Tallo SH dan Drs Johannes Pake Pani sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur NTT periode 1998-2003 telah berakhir.
Sebagai ketua partai, Lebu Raya pun dipinang oleh Piet Alexander Tallo untuk mendampinginya sebagai wakil gubernur, karena kesulitan yang dihadapi Tallo ketika itu, tidak diakomodir menjadi calon gubernur melalui pintu Partai Golkar.
Dalam pemilihan yang berlangsung dalam dua babak di DPRD NTT itu, Piet Alexander Tallo dan Frans Lebu Raya akhirnya keluar sebagai pemenang dengan posisi 28 : 27 mengalahkan pasangan Victor Bungtilu Laiskodat-Simon Hayon yang diusung Gabungan Partai di DPRD NTT.
Selama lima tahun mendampingi Piet Alexander Tallo sebagai wakil gubernur, Lebu Raya lebih banyak menjalankan tugas sebagai gubernur dalam mengendalikan pemerintahan dan pembangunan, karena Gubernur Tallo sedang jatuh sakit hingga memasuki akhir masa jabatannya.
Ketika memasuki pentas Pemilu Gubernur dan Wakil Gubernur (Pilgub) NTT periode 2008-2013, Lebu Raya mencalonkan dirinya menjadi gubernur dan meminang Ir Esthon L Foenay MSi, mantan Ketua Bappeda NTT yang kini menjabat Ketua KONI NTT sebagai wakil gubernur.
Pasangan Drs Frans Lebu Raya dan Ir Esthon L Foenay MSi yang lebih populer dengan sebutan "Fren" ini masuk ke arena Pilgub NTT melalui pintu PDI Perjuangan untuk bersaing dengan dua pasangan kandidat lainnya, Ibrahim Agustinus Medah-Paulus Moa (Tulus) yang diusung Partai Golkar dan pasangan Gaspar Parang Ehok-Yulius Bobo (Gaul) yang diusung Koalisi Abdi Flobamora.
Ketika pentas Pilgub NTT digelar pada 14 Juni 2008, pasangan Frans Lebu Raya-Esthon L Foenay (Fren) meraih suara terbanyak dengan mengumpulkan 772.030 suara atau sekitar 37,35 persen dari 2.067.228 total suara sah.
Sementara pasangan Ibrahim Agustinus Medah-Paulus Moa (Tulus) berada di posisi kedua dengan mengumpulkan 711.116 suara atau sekitar 34,40 persen dari total suara sah, sedang posisi ketiga diraih pasangan Gaspar Parang Ehok-Yulius Bobo (Gaul) dengan merebut 584.082 suara atau sekitar 28,25 persen dari total suara sah.
KPUD NTT pimpinan Ir Robinson Ratukore melalui keputusannya No.32 Tahun 2008 tanggal 22 Juni 2008 kemudian menetapkan pasangan Frans Lebu Raya-Esthon L Foenay sebagai calon gubernur dan calon wakil gubernur NTT terpilih periode 2008-2013.
Kedua pasangan calon yang belum beruntung dalam pesta demokrasi tersebut, menerima kemenangan pasangan Frans Lebu Raya-Esthon L Foenay dengan lapang dada dan tangan terbuka tanpa melayangkan protes sedikit pun atas hasil pilihan rakyat itu.
Beberapa hari setelah KPUD NTT menetapkan pasangan calon gubernur dan calon wakil gubernur NTT terpilih periode 2008-2013, Lebu Raya dan Esthon Foenay berkunjung ke kediaman pasangan "Tulus" dan "Gaul" sebagai salah satu bentuk komunikasi politik untuk membangun kebersamaan.
"Pasangan Tulus dan Gaul adalah aset yang harus diajak kerja sama untuk membangun daerah ini. Untuk membangun NTT butuh adanya kebersamaan di antara kita semua," komentar Lebu Raya usai berkunjung ke kediaman lawan politiknya itu.
Pada 16 Juni 2008 dihadapan paripurna DPRD NTT, pasangan Frans Lebu Raya dan Esthon L Foenay dilantik menjadi Gubernur-Wakil Gubernur NTT periode 2008-2013 oleh Menteri Dalam Negeri Mardiyanto atas nama Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Dalam perjalanan lima tahun ke depan, pasangan "Fren" menawarkan program untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat yang mereka tuangkan dalam program secangkir "Anggur Merah"--Anggaran Untuk Rakyat Menuju Sejahtera.
Lebu Raya mengilhami secara mendalam program "Anggur Merah" tersebut karena ia tidak mau kehilangan jejak langkah dan identitas serta harga dirinya sebagai seorang anak petani yang kini terpilih menjadi Gubernur NTT untuk periode 2008-2013.

Tidak ada komentar: